Cerpen - Rindu Yang Tak Terbalaskan
RINDU YANG TIDAK TERBALASKAN
Malam
yang begitu sendu, secangkir teh hangat menyelimuti tubuh. Embun berkumpul
layaknya populasi manusia, menyelimuti malam yang dingin, rapuh dan kelam, bisa
saja gelap seperti gua kelelawar. Jam menunjukkan pukul 01.00 WIB, setengah
cangkir teh itu habis, mungkin tubuhku sudah hangat dan mimpi untuk bertemu
kedua orangtua dan kakak-kakak ku sudah menunggu. Gelap menyelimuti mimpi,
entah apa yang ada dipikiran ku saat itu, sangat sedih dan mencekam. Ibu,
bapak, anak mu rindu. Bisakah kalian memelukku sebentar? Seperti saat aku tidur
sehari bersama kalian ketika umur ku beranjak 7 tahun? Aku rindu masa-masa itu.
Hitungan tahun tak bertemu, membuat ku sedikit iri dengan teman-teman yang
mempunyai orangtua lengkap dan kasih sayang yang tidak ternilai harganya.
Pagi
yang cerah, matahari tersenyum, angin bernyanyi dan menari-nari di sekitar ku.
Baju kotor, piring dan mangkuk kotor, bahkan rumah yang berdebu sudah
menungguku. Tak lupa segelas air putih menunggu melintas ditenggorokan, sapu
dan pel tersenyum, “bisakah kalian berfungsi dengan sendirinya? Aku lelah”,
seketika kata-kata itu terlontar di dalam hati, tak sanggup untuk aku
mengatakannya. Secangkir kopi hangat dan alunan musik menemani hari-hari ku,
keringat bercucuran dan lelah itu seketika hilang jika sosok orangtua didepan
mu membaca koran, dan ibu mu membuat sarapan pagi? Ah.... itu Cuma sedikit
khayalan kecil ku saja.
Jam
menunjukkan pukul 10.00 WIB, rasa ngantuk itu timbul, apa ini yang namanya
lelah? Ini bukan lelah, mungkin perasaan saja yang terlalu memikirkan sesuatu
tanpa memikiran kedepannya. Kuhilangkan rasa lelah itu dengan mandi, berharap
lelah ini jadi berkah. Nasi putih, cumi goreng dan sambal mengingatkan ku pada
saat makan siang, ah... mungkin waktu mengejar, cukup mencicipi nasi kurasa itu
cukup. Tergesa-gesa melawan panas, dan kau tahu apa? Debu mengikutimu seperti
rambut dikepala yang tak mau lepas dari kehidupan. Alunan musik menemani
perjalanan.
Entah kenapa “I’m Not The Only One” nya Sam Smith mengingatkan perjalanan cinta
yang buruk, gelap, bahkan sedikit hina, dan ingin ku ludahi perjalanan cinta
yang kelam dan terlarang itu. Ah.... lagu yang begitu epik.
Perjalanan
yang melelahkan terganti dengan semangat, 5 jam diruangan yang dingin tak
membuat semangat itu pudar, mungkin ini yang nama nya masa depan yang cerah
nantinya, semoga. Tak lama kemudian cahaya terang menjadi gelap, dan berembun,
binatang-binatang kecil beraksi dengan sayap yang menyebalkan, “bisakah kalian
tidak menabrak mata ku, wahai binatang kecil?”. Binatang kecil hanya punya
naluri, tapi mereka buta, mata perih dan kacamata gelap pun percuma, berjuang
melintasi kerasnya malam yang gelap kau harus terbiasa dengan itu, wahai
kehidupan.
Khayalan
yang tidak pernah menjadi kenyataan, datang dengan lelah dan melihat ibu
menyiapkan makan malam dan bapak menonton berita di televisi? Tidak akan
menjadi kenyataan, bagaimana bisa, surga yang sudah menampung mereka. Do’a dan
kesabaran yang ku sampaikan kepada mereka, dan semoga selalu bahagia wahai Ibu
dan Bapak. Melihat kebahagiaan keluarga kecil yang selalu terlintas dimata,
terkadang rasa sedih dan ingin menangis, tapi percuma, diam mungkin lebih baik.
Rasa
ngantuk dan lelah memanggil, aku butuh istirahat, mata merah merona seperti
darah, tulang rusuk yang rapuh membuat bantal memanggil dan seragam putih hitam
masih menyelimuti tubuh, aku tak sanggup, Tuhan. 3 jam lamanya, aku terbangun
dan melihat isi rumah sepi, yang kuinginkan hanya suasana hangat, tapi ini apa?
Berantakan. Mental ku sedikit terguncang, seperti gempa bumi yang melintas
beberapa detik.
Air
hangat dan sentuhan musik ditelinga sedikit membuat rileks saat mandi, air mata
menjatuhkan dirinya. Rasa rindu yang menggebu-gebu itu terbayarkan dengan
jatuhnya air mata ketika air mengalir, agar kesedihan ku yang mendalam yang
dirasakan tidak diketahui oranglain. Suara gemuruh di genteng berbunyi,
pertanda hujan, ku nyalakan lilin dan sepi nya malam menemani ku. Selimut merah
berbahan lembut itu menghangatkan tubuh, secangkir susu hangat tak luput
menemani gelapnya malam dan suramnya hidup. Aku rindu ketika bapak bercerita
kisah kehidupan yang kelam dahulu, ketika pahitnya menjalani hidup dimasa lalu.
Adzan
berkumandang, matahari tenggelam, hari yang lelah dilalui. Air wudhu yang mendinginkan
kepala dan bagian tubuh membuat nafas terhela. Bapak menjadi imam, ibu dan aku
menjadi makmum nya, rasa bahagia seketika timbul karena keluarga kecil yang
bahagia adalah sholat berjamaah ketika sudah waktunya. Kusalami tangan bapak
dan ibu, meskipun mereka bukan orangtua kandung, tetapi hanya mereka yang aku
punya.
Detik-detik
kesedihan berkurang, hari yang gelap menjadi terang. Tuhan, aku butuh teman
yang selalu berjuang bersama-sama sampai titik keberhasilan. Biar mimpi untuk
liburan bersama terealisasi nantinya. Rencana yang diinginkan harus dengan
usaha yang keras, menuntut ku untuk berkerja disalah satu tempat pelelangan
ikan, bahkan bau amis pun menjadi harum. Kuharap hanya khayalan. Gaji Rp.50.000
per harinya sangat lah berarti, hanya berkerja 7 jam saja membuat kepala
cenat-cenut. Ini bukan masalah seberapa banyak penghasilan, tetapi bagaimana
agar setiap mimpi yang kau inginkan menjadi kenyataan.
Teringat
pada saat 2012 lalu, saat-saat remaja seusia ku menentukan masa depannya, aku
hanya duduk melamun, tak tahu mau menentukan apa yang akan dilakukan
kedepannya. Aku buyar. Dengan menjaga store
hijab dan women wears tak membuat
harga diri ku sebagai laki-laki menadi buyar juga. Ah, entahlah mungkin ini
hanya perasaan yang menjanggal. Monitor komputer menatap kesedihan dan
kebahagiaan, “nomor 1 Bang, paket 2 jam ya..”, mengingatkan usia remaja kelam
mencari pundi-pundi rupiah dengan pecahan Rp.1000, bahkan Rp.500. Kelam yang
kejam dan gelapnya kehidupan mengajarkan sosok diri ku yang menuntut harus
bekerja diusia yang sangat begitu muda.
Setengah
perjalanan, terkadang hanya karena “proposal skripsi” membuat perut mules dan
kepala pusing. Berapa biaya yang telah kau keluarkan? Semoga saja menjadi
berkah kedepannya. Pendidikan yang tinggi mendedikasi menjadi pribadi yang
baik, bukan seberapa usia mu, dan bahkan apakah kamu sudah dewasa? Belum tentu.
Perjalanan yang melelahkan, dan gelapnya jalanan di jam 19.00 WIB menceritakan
kesedihan tersendiri, mengingatkan hujan deras dan dinginnya angin berhembus
sampai ke pori-pori. Dingin, sangat dingin. Sepi, sangat sepi. Kesendirian
bagian hidupku, mungkin.
Bayang-bayang
kekasih dengan perawakan arab, bisa jadi sunda, tapi tetap saja bayang-bayang
itu mengalihkan semua pikiran. Ini saatnya 10 detik pelukan yang berharga
seperti berlian di nikmati, tapi siapa tahu dengan ketulusan itu? Wahai hati,
bangun dan sadarlah. Ruang tamu tanpa lampu, untuk melihat wajah mu saja hanya
mata yang kupandang, sangat gelap. Pelukan hangat dirasakan, sampai jantung
ingin berhenti sejenak, dan malaikat menjemput, tapi itu perjalanan yang sangat
panjang, dan hanya Tuhan yang tahu akan itu. 01.00 WIB, aku pulang dengan rasa
bahagia, dan terlontar pertanyaan “apa kabar kamu besok? Janji akan kemakam
bersama-sama?”. Kami rindu orangtua kami, bahkan jarak makam 5 meter tak
menghalangi tatapan kami saat membaca surah yasin. Hening. Rindu.
“Apa
kita harus sarapan?, sudah beberapa tahun tidak bersama, bikin nasi goreng dong
sayang, kangen banget sama masakan kamu”, aku menarik nafas dan berkata “duduk,
sini peluk dulu sebentar. Kamu tahu aku rindu? Kamu tahu perjuangan 15 bulan
terakhir ini? Sakit”. Dengan senyuman pun percuma, ingin menangis tapi itu
hanya menyakitkan. Meja makan dengan 6 kursi, hanya kami berdua. Keadaan rumah
yang sepi membuat obrolan kami begitu hangat. Untuk komunikasi melalui telpon
saja kami sibuk dengan rutinitas, apalagi bertemu? Mustahil. Khayalan yang
belum terwujud, nonton bioskop bersama. Jika mengingat ini, sedikit rindu
dengan pria taiwan dengan tinggi 175cm dan kulit putih bagaikan salju, masa
lampau, 4 tahun lalu. Aku juga rindu suasana hangat itu.
Teringat
saat harus pergi ke sekolah dengan sepatu sobek dan seragam yang sobek di bahu
kanan. Aku merasa malu, bahkan ingin pulang ketika sudah setengah perjalanan,
tapi niat bertolak belakang, cita-cita itu harus diwujudkan. Dengan uang jajan
Rp.3000 pada masa itu sangat berharga, kau bisa makan kenyang sampai sore
nanti, bahkan diam-diam aku minum air dibelakang sekolah karena dahsyatnya haus
pada saat itu, bahkan dengan diam-diam mencuri sisa makanan di meja kantin
ketika penjaga kantin mencuci piring. “Sudah makan tam?” “Belum, uang jajan
sudah habis, tapi Bu’ saya bisa mencuci piring dan mangkuk ini? Tapi dengan
upah sekantong es saja Bu’...” “Tentu saja boleh, setelah mencuci piring dan
mangkuk, kamu bungkus es sendiri, sisa nasi goreng bawa saja kedalam kelas,
makan nanti”.
Sedikit
rasa cemas dan bahagia, aku mencuci piring dan mangkuk kotor, bahkan mencicipi
sisa makanan yang ada di mangkuk. Siapa
yang tidak tergiur dengan sisa bakso di mangkuk? Ku cicipi sedikit untuk
menahan rasa lapar, karena sudah lelah belajar, aku butuh makan layaknya
anak-anak yang sudah beristirahat dan menikmati gadget cangkih dimasa itu.
Sekantong es yang berharga ku minum diparkiran, sebelum bel berbunyi seseorang
bertanya “kenapa kamu melamun? Apa yang kamu pikirkan?”, aku hanya diam dan
mengabaikan orang itu, dan bel berbunyi, bergegas aku meninggalkan parkiran,
lalu membuang plastik es yang kudapat dari mencuci piring dan mangkuk dikantin.
Jam
pulang telah tiba, bergegas menuju halte, berjejer anak sekolahan menunggu bus
untuk pulang. Dengan uang Rp.1000 kau bisa pulang kerumah, dengan jarak 20km,
membuat sepatu buntut semakin usang, aku berjalan kaki, tanpa jaket, bahkan
hanya dilambaikan tangan dengan anak-anak bermotor berbondong-bondong pulang.
Kulihat ada yang bergoncengan, dan ada yang sendirian, tapi penawaran untuk
pulang sama-sama tak ku dapatkan. Aku tersenyum, dan memandang dari jauh lalu
melihat sepatu usang dengan keadaan yang rapuh, bahkan dunia seketika gelap.
Hanya karena Rp.1000 sepatu ku semakin usang. Melintasi toko sepatu, ku lihat
sepatu berwarna hitam, untuk pergi ke sekolah mungkin membuat percaya diri
semakin tinggi, tapi itu Cuma mimpi. Hanya jahitan yang membaluti sepatu usang
itu, dengan Rp.3000 sepatu itu terlihat seperti baru, tapi usang tetaplah usang.
Aku menginginkan sepatu itu, iya, sepatu baru.
Hujan
menerpa, dingin berhembus, perjalanan hidup begitu keras menyadarkan akan
perjuangan. Matahari menceritakan kisahnya, panas pun menerpa. Rindu akan bapak
ibu, teman dan mungkin kasih sayang yang sudah diberikan kepadaku. Tapi itu
cuma sementara, tak kekal dan tak abadi. Ciuman Bapak dan Ibu tak lagi
kurasakan, sarapan pagi dimeja makan bersama abang dan kakak pun sirna, hilang
dan terabaikan. Mungkin saat ini rindu terpendam takkan terbalaskan.
Suara
adzan maghrib terdengar, malam pun tiba. Makan malam di meja berbisik, tapi
kemana seisi rumah? Sangat begitu sepi, bahkan jeritan jangkrik tidak terdengar
lagi. Makan malam dengan diri sendiri tidak begitu menyenangkan, tanpa obrolan
dan tanpa tatapan mata, hanya bayangan saja yang menemani mu. Malam yang gelap
menyelimutimu lagi, dan kau tahu apa isi hati ku? “Makan malam yang gelap,
tanpa Bapak, Ibu dan kakak-kakak ku!”. Satu jam berlalu, tidak ada tanda-tanda
suara kehidupan, hanya lampu kerlap-kerlip yang menyala dan kemudian mati,
sangat menegangkan. Mengingatkan pada usia 4 tahun, 1998 kejadian menyeramkan
disaksikan oleh sepasang mata kami, Bapak merangkulku dan sahabatku bermain
bersamaku pun dirangkul, kami ketakutan. Jantung berdetak, tangisan terdengar
disudut-sudut rumah dan darah-darah bertitikan bagai hujan di bulan November.
Cerita
rakyat yang membuat ku selalu mengingat tragedi 1998 itu, membuat tempat
bermain sedikit angker, “Pulang, sudah maghrib, kepala hantu nanti
gentayangan”, kata-kata yang singkat dan tidak masuk akal mempengaruhi kami,
dan rasa takut itu muncul. Menegangkan. Percaya atau tidak, tapi itulah adanya
cerita rakyat yang kusaksikan pada saat itu. Lintah-lintah darat bertaburan,
dengan celurit dan benda tajam yang bisa melukai kulit, bahkan bisa memotong
tubuhmu lalu darah mu bertitikan dijalanan. Sangat kejam, dan begitu kejam.
Alunan
musik ditelinga, rasa duka menyelimuti ku lagi, “Hello” nya Adele membuat alunan ditelingaku bergejolak, mungkin aku
rindu cinta yang kelam dan gelap itu? Entahlah. Rasa cemburu timbul, mungkin
foto berukuran 3x4 dan wallpaper di smarphone bisa membuat rindu itu terobati,
tapi percuma, bahkan foto tak sehebat rasa pelukan 10 detik yang dulu
kurasakan. Ku buka Tv, kulihat ada film yang menginatkan pada pria Taiwan itu,
ah..... sangat drama. Tapi kau tahu jika perasaan sesorang tak bisa
dideskripsikan dengan kata-kata? Kehidupan yang gelap dan gelapnya malam
menceritakan kisah ini. Rindu ku, hanya rindu yang terpendam.
Persahabatan
yang begitu kekal, ejekan hanya sebuah perumpamaan. Kau tak akan tersinggung
jika sahabat sejati memaki kamu, dan itu berupa teguran, tapi rasa sayang itu
tak terkurangi. Bahkan tangan akan erat bersama, selamanya, sampai ajal
menjemput, mungkin. Rasa bersalah dan perjuangan bersama itu terasa seperti
mengelilingi pulau kalimantan dengan berjalan kaki, tanpa rasa takut. Aku rindu
saat berumur 6 tahun, sepulang sekolah selalu bermain, bahkan makan siang pun
terabaikan oleh permainan tradisional, tanpa uang dan hanya memanfaatkan
peralatan seadaanya. Teman tanpa cela, saat santai bersama dan tertawa menjadi
saksi kehidupan dimasa kecil tanpa beban. Waktu sudah berlalu, masa kecil
terabaikan, Uteh, Anjang, Ismi, Wiwid, aku rindu kalian.
Malam
minggu disebuah cafe remang-remang kami tertawa, semua mata tertuju kepada ku,
entah ada sesuatu yang aneh atau apapun itu hanya mengganggu konsentrasiku.
Suara ombak dan tepi pantai menceritakan hangatnya persahabatan kami. Vika,
Debby, Mutia, Olla, Erwin, Zerlya, Letty, Rafika, Rini, Santi, Inur, Mala,
Ulik, Anggy, Rexza, Nunung, Iit, Eka, bagaimana kabar kalian? Aku berharap kita
menjadi keluarga besar nantinya. Amin. Jika kau pernah dikhianati, balas dengan
senyuman, kemudian tertawa dan lupakan segalanya, hari esok menantimu. Tidak sempurna
merupakan bagian dari seseorang, beruntung mempunyai sahabat seperti kalian,
tanpa hujatan dan tanpa membuat jati diri ku berubah.
Februari,
2015. “Where are you baby? I’m in
Mercure’s Hotel, don’t be late okay? I love You”, seketika pesan LINE masuk.
Aku bergegas, pria Taiwan dengan mata sipit kembali ke Indonesia. 24 jam
tidaklah cukup, bisa jadi nanti bersama-sama dikemudian hari, tapi itu hanya
mimpi kecil saja. Tak apa jika tidak menjadi kenyataan. Kau tahu bahwa 10 detik
pelukan berharga yang ku inginkan? Terasa nyata. Memasuki lift, seorang pria
Amerika berbincang kepada ku, “You look
so gorgeous, I do like it Indonesia’s guys”, kemudian aku menjawab “You too, I like america’s guys, like
you...”, kemudian kami berpisah dilantai 5 hotel itu, dan aku bergegas
menuju lantai 7. Kuketuk kamar hotel, dan pelukan 10 detik itu terasa, bahkan
aku sempat menangis. 4 tahun adalah perjalanan yang panjang, cerita lama hanya
kenangan, akan ku kubur dengan hitungan detik, kemudian membuka lembaran baru.
Malam
yang dingin, film memanjakan mata kami, popcorn manis melembutkan lidah, dan
genggaman tangan yang hangat membalut tangan kananku. Saat alunan nyanyian
membuat kenangan tersendiri, ah.... aku meraa dipuncak dunia. Rasa sayang tak
bisa merubah prinsip cintaku.
Malam
diterpa hujan, kuseduh secangkir kopi lalu kubuka Tv. Malam menerkam kehidupan
yang gelap dan terkadang cerah layaknya pagi ceria yang akan datang dengan
senyuman, tanpa beban dan tanpa kecemburuan. Mimpi buruk bersilih berganti dan
tanda tanya kerinduan selalu beriringan menghantui telinga seakan berbisik
“kapan kerinduan itu terbalaskan?”, entahlah.... aku seketika amnesia akan itu.
Satu harapan, satu tujuan lalu kau akan bertemu dengan kerinduan yang gelap dan
mencengkam, dan berakhir dengan kebahagiaan, senyuman dan rasa keikhlasan.
Tuhan, aku rindu keluarga besar ku. Aku rindu kekasihku. Sangat Rindu.
\
BIODATA
PENULIS
Agustami H, dilahirkan 1 Agustus 1994 di
Pemangkat, (Kalimantan Barat). Pendidikan saat ini menempuh S1 di STKIP Singkawang,
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia.
Comments
Post a Comment