CERPEN Terbaru 2018 (Sebuah Kamar)
Sebuah
kamar
Langit begitu cerah, bintang kecil
berkedip berjejeran, bulan menyinar cerah ke dalam menembus sebuah jendela di
ruang kamar yang kami tempati. Kamar yang hanya satu – satunya tempat yang
dapat kami tempati sekeluarga. Sebuah kamar, untuk saya, toni dan roni adik
saya, dan kedua orang tua saya.
Bersamaan datangnya purnama yang menyinari sebuah kamar yang saya
tempati, toni dan roni berlarian, bermain – main, bernyanyi yang sampai kamar tak karuan seperti kapal pecah, berantakan.
Sementara ibu sibuk membuatkan wejangan kecil – kecilan, menata rumah, memasang
pernik seadanya yang telah lama disimpan
hanya untuk memperingati datangnya purnama. Agar seperti berada di sebuah hotel
bintang lima yang dihidangkan berbagai macam menu makanan, berhiasan tempat
yang penuh dengan pernak – pernik indah. Sedangkan bapak hanya duduk, tapi
tangannya tak henti – hentinya menjahit baju yang telah robek berkali- kali. Baju
yang berumur hampir mirip dengan umurnya, baju yang selalu di pakainya erat
melekat kala Bapak pergi kondangan.
Bapak selalu memakai pakaian terbaik kala pergi kondangan. Pakaian
yang hanya sekali di pakainya saat pergi mengikuti acara kondangan di kampung
sekitar. Dia tak akan melewatkan momen penting lewat begitu saja.
Saya berhenti memandangi adik dan kedua orangtua saya, saat ada
suara. Suara itu asing, suara yang
lembut masuk ke dalam telinga saya, nada suara itu datar, namun berintonasi.
Nada suara itu berasal dari luar kamar saya. Saya berjalan pelan menuju suara
itu, saya pun dibuat penasaran mengikuti arah nada itu. Lalu, saya buka pintu
kamar dan terlihat lelaki berdiri tepat di hadapan saya. Badannya tinggi kurus.
Wajahnya kuning kehitam – hitaman, merah abu – abu, hijau pekat. Entahlah,
bercampur – campur, yang jelas wajahnya cerah seperti rembulan di gelap malam.
Matanya tajam menatap saya, tatapan yang tak berkedip, namun bila memandangnya
menimbulkan tanya.
Di matanya saya melihat dunia, dunia yang tak luas, hanya terdiri
dari ruas – ruas kecil melingkarinya seperti dinding – dinding yang
memagarinya. Saya pun ingin menerobos dinding – dinding itu, sambil menghapus
garis – garis yang memagarinya.
“ bolehkah saya masuk.” Kata dia
Saya terkejut dan suara itu menyadarkan saya. Lalu, dengan nada terbatah – batah saya mengiyakan.
Ibu dan Ayah menyambutnya dengan ramah, ternyata sudah lama Ibu dan
Ayah mengenal dia. Mereka tampak seperti saudara sendiri, akrab sekali. Mereka
ngobrol dari ketika mereka bertemu di
pasar, memancing bersama dari subuh sampai magrib tak dapat ikan juga, hingga
saat mereka pergi ke pantai tiba- tiba ban motornya bocor di tengah jalan,
semua diomongkannya sambil ketawa terbaha – baha. Tiba – tiba ibu menyela “
kamu sudah berkeluarga nak Surya, Tanya Ibu. Seketika suasana menjadi hening,
sunyi. Tak ada yang bersuara, hanya ada suara binatang kecil yang terdengar
jelas saat kami semuanya diam. Saya lihat mukanya memerah seperti wajah gunung
yang menyimpan segudang lava dan siap mengeluarkan semburan lava, panas. Tapi
kenapa mukanya memerah ? kenapa dia susah menjawab pertanyaan sederhana itu ?
mungkin dia sudah beristri tapi hubungannya kandas di tengah jalan, mungkin dia
mencintai seseorang tetapi cintanya bertepuk sebelah tangan dan ia mengutuk
dirinya sendiri tak akan menikah sampai mati. Tapi bisa jadi ia belum
mendapatkan pendamping hidup yang cocok dengan dirinya. Ya begitu banyak
kemungkinan, sementara dia masih diam, sepertinya dia berfikir keras, mencari –
cari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan dari Ibu.
“anu pak, anu bu” kata itu terus diulanginya sambil tangannya
mengeruk – eruk kepala bagian belakangnya. Badannya menunjukan gerakan yang tak
jelas, seperti salah tingkah. Kakinya basah keringat seperti habis kebanjiran,
tampak gerogi. Ayah makin menjadi, tertawanya terpingkal – pingkal tak
beraturan. “ sudah – sudah, cukup. Ndak usah dijawab, Ibu tadi cuman bercanda. Kata
Ayah
“Nak surya sudah makan”. Tanya ibu lagi.
Dengan senyum kecil manis,
dia berkata sudah bu terima kasih.
Saya jadi tahu namanya Surya.
Dia mulai menatap saya. Saya menatapnya. Dia mengajak saya saling
memandang, saling bicara, saling bersuara, saling bertukar cerita, saling
menunjukkan bahasa yang indah saat bicara. Dan hanya sesekali kita menjawab
pertanyaan Ibu dan Bapak, itu pun cuman satu kata, IYA.
Surya, nama yang sepantas dengan kebaikannya. Kebaikan yang
memberikan cahaya dikala gelap pekat. Dia dapat membuat orang tersenyum
disampingnya. Tapi namanya tak seperti jalan hidupnya, tandus, penuh cobaan. Namun
dia tetap menunjukan cahayanya. Cahaya yang menghidupkan.
Tak terasa tujuh jam lamanya dia berada di kamar kami dan ia pamit
pulang. Saat pamit saya merasa pertemuan kita baru satu menit, cepat sekali. Yang
saya ingat hanyalah saat saya dan dia saling memandang, kita terasa di sebuah
panggung pentas seni, dan kita sedang menari oleng. Tarian yang mempersatukan gerakan
lelaki dan perempuan yang sedang mabuk cinta, namun tersembunyi.
***
Semakin lama semakin tampak gelap ruangan kamar saya. Tak ada cahaya
yang menyinari, Toni dan Roni terlihat sudah tidur terlelap sambil kepalanya
ditutup erat kain sarung, kedinginan. Sementara pandangan saya ingat Ibu. Ibu
adalah seorang perempuan yang tidak pernah mengeluh pada hidup. Dia bisa
mengatasi semua permasalahan dalam keluarga kami. Ibu selalu tersenyum kala
suka maupun duka, kala saya sedang merintih meminta uang untuk biaya sekoah.
Ibu, wanita yang tak pernah mengeluh, ibu lebih memilih sembunyi sambil
berpeluh.
Saya tetap berdiri tegap sambil memandangi langit yang gelap suram,
tanpa bulan. Tanpa bintang – bintang. Namun, purnama tak kunjung datang. Saya
beralih memandangi sebuah kamar. Saya pandangi diantara sudut – sudut persegi
yang sudah mulai mengeluarkan garis – garis keriput di kulit dinding. Garis –
garis yang menceritakan derita subuah kamar yang kami tempati. Kamar 3x4 m,
terlihat sangat sempit untuk hidup bersama – sama.
Kamar yang berukuran 3x4 M, adalah sebuah kamar yang terdiri dari lima
orang bernyawa disini. Kamar yang apabila sudah waktunya tidur harus mengatur posisi agar semua kebagian tempat tidur, kamar yang terkadang
membuat saya kesulitan bernafas.
Angin semakin kencang, mata saya memandang ke depan gelap,
memandang ke samping gelap, memandang ke atas gelap, memandang ke dalam gelap.
Pandangan yang semuanya gelap, saat saya mendengar nada – nada yang tak asing.
Nada itu sudah berkali – kali masuk ke telinga, tak asing lagi. Nada itu
sejalan dengan tamparan angin kencang, namun pelan. Suara itu memanggil nama
saya tak hanya sekali.
Saya membuka pintu, suara itu menghilang. Suara itu ke dalam kamar,
suara itu hilang lagi.
Lalu saya duduk. Mata saya memandang jauh, menatap sudut – sudut
dinding kamar yang gelap. Kedua adik saya bangun.
” ada apa kak. Tanya mereka berdua
“ tidak apa - apa “ jawabku
datar.
Apa kamu dengar suara aneh barusan. Adik saya menggeleng, saling
memandang.
Tiba – tiba toni dan roni wajahnya muram ketakutan. Saya tak tahu
harus berbuat apa. Hanya ada sebuah lilin. Lilin yang apabila dihidupkan, cukup
untuk penerangan sebuah kamar gelap. Saya menghidupkan lilinnya.
Diantara cahaya lilin, kami duduk membentuk lingkaran, kami saling
menatap lilin. Saya melihat, tatapan toni dengan roni berbeda. Dia seperti
melihat semesta lain di balik sebuah lilin,. Mata mereka berdua sangat tajam
memandang dalam – dalam api kecil yang menyala pada lilin. Apakah tatapan itu
kebahagiaan ? apakah tatapan itu suatu kebencian ?
Lagi – lagi begitu banyak kemungkinan. Namun bagi saya, hanya ada
satu hal yang pasti. Mereka selalu berada dalanm suasana gelap. Tanpa
penerangan di malam hari, saat bulan purnama pergi.
Pandangan saya beralih ke sebuah lilin. Saya menatap dalam – dalam
lilin. tubuhnya yang mirip manusia, tegap lurus. Di mata saya lilin seperti
manusia. Manusia yang memiliki kekuatan dari Tuhan. Agar manusia dapat saling
memberi. Tanpa kekuatan, manusia tak bisa berbuat apa – apa. Sama hal nya
dengan sebuah lilin. Lilin juga membutuhkan kekuatan. Kekuatan itu berupa api
kecil yang menyala di atas tubuh lilin. Tanpa api, lilin tak dapat menerangi di kala gelap dan sepi.
Malam semakin gelap, api kecil masih tetap menyala. Api kecil itu
lama – lama di pandang mirip rembulan., tapi kecil. Api kecil itu mengingatkan
pada sebuah cahaya. Cahaya yang telah memberikan penerangan dengan tulus,
cahaya yang tetap bercahaya meski gelap menghalangainya. Surya !
Tapi kemana surya, cahayaku yang tak kunjung datang. Saya sering
mendengar suara – suara yang mirip dengan cara dia berkata, cara dia tertawa. Pernah waktu pergi
ke pasar, suara itu malang melintas. saya panggil namamu, diantara segerombol
orang itu, mereka hanya menggeleng bisu.
Saya tak tahu, suaramu sering melintas, suara itu seperti bayangan
yang mengawasiku saat saya bergerak kemanapun yang saya mau. namun saya tak
melihat wajah indahmu.
Waktu menunjukan 01.00 WIB. Cahaya lilin masih menyinar diantara
gelapnya malam, sinar yang hambir akan redup,hilang. Hilangnya cahaya pasti kan
membuat suasana semakin gelap, sedang mereka Toni dan Roni tak bisa berada di
semesta gelap. Saya mulai bercerita tentang hantu yang datang kala tengah
malam, hantu yang menakuti orang, agar mereka berdua ketakutan dan lekas –
lekas menutup matanya, tidur.
Adik sudah tidur. Tinggal saya dan sebuah lilin yang tetap bertahan
di kamar gelap ini. Saya pandangi lilin lagi, sambil sesekali melihat langit
yang gelap., berharap malam ini kan datang rembulan. Berharap lelaki pujaanku
surya kan datang bersama purnama yang menerangi gelap pekat kamar ini.
Lama – lama saya tak bisa membuka lebar – lebar kelopak mata. Saya
ngantuk. Saya tidur. Lalu saya tiup pelan lilin, lilin mati.
Saya menutup mata pelan. Seketika semesta menjadi gelap pekat.
Lebih gelap dari kamar yang saya tempati. Namun di balik remang - remang gelap
saya memandang di kejauhan ada cahaya kecil, mirip kunang – kunang yang
berkeliaran kala malam sepi. Saya berjalan menuju cahaya itu. Cahaya yang makin
dekat, semakin besar cahaya itu, cahaya itu makin jelas saya pandang.
“ apa kabar , masih ingat sama aku “ . saya tak bisa bicara. Saya
tak percaya, saya hanya melotot menatapnya, tatapan tajam – tajam. Dia pegang
tangan saya, dia mengajak saya berlarian, dia mengajak saya duduk sebentar,
sambil dia menunjukan pemandangan indah di sudut bukit, bukit yang tak begitu
besar.
Saya terus memandangi sudut – sudut bukit itu, menunggu datangnya
pemandangan bukit, biasanya pemandangan itu kan muncul bersama kunang- kunang,
Katanya. Lalu, saya mencari kunang –
kunang, lama – lama kunang mulai bermunculan. Saya memperhatikan kunang –
kunang. Saya melihat diantara kunang – kunang ada cahaya biru kekuningan coklat
keabu – abuan merah kekuningan, cahaya itu mirip pelangi yang datang
setelah hujan rintik. Di balik cahaya
itu ada bukit – bukit yang melengkung indah, membentuk lengkungan yang serasi antara
bukit satu dengan bukit yang lain.
Tangan saya lagi – lagi dipegang. saya diajak menyusuri ke dalam
bukit itu. Bukit itu indah, tak ada satupun mahluk berlarian.ah, tak
mungkin. Sepertinya mahluk – mahluk
sembunyi ketempat mereka beristirahat, ketempat mereka berteduh. Saya melihat
bunga – bunga indah tertaburan merias di pinggir jalan, indah sekali. Bunga –
bunga itu mirip bintang di langit yang berwarna – warni.
Saya terus berjalan memandangi bukit itu, lama – lama saya melihat
cahaya itu menghilang, cahaya itu berubah menjadi gelap, bunga – bunga seketika
layu, mati, hilang. Saya tak tahu.
“ apa yang terjadi”. tanya saya
“ apa yang terjadi surya”. tanya saya lagi
Dia tak bicara, dia hanya diam, dia berubah seperti patung tak
bergerak. Satu – persatu mulai dari tangannya hilang, hingga semuanya hilang.
Dia menghilang entah kemana. Semuanya menghilang. Saya berteriak ketakutan.
Saya membuka mata, saya memandangi sudut-sudut kamar, saya
memandangi jendela persegi, saya memandangi adik yang menutupi wajahnya dengan
sarung erat sekali. Saya memandangi Ibu tertidur, tertidur dalam tersedu,
sedang Ayah berbaring jemu, matanya menatap orang tersalib di batu!
(*) Cuplikan puisi Sebuah Kamar Karya Chairil Anwar.
Tentang Penulis
SAIFUL AMIN menulis
cerita pendek Sebuah Kamar (2015). lahir di Lamongan, 6 Maret 1995.
Tercatat sebagai Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP
Singkawang. Saat ini tinggal di Singkawang, Kalimantan Barat.
Comments
Post a Comment